Pendidikan

Dari Historiografi ke AI: Mengubah Paradigma Pendidikan, Bukan Sekadar Efisiensi

Setiap bidang ilmu pengetahuan terus berevolusi, mengubah cara kita memandang dan berinteraksi dengan dunia. Salah satu contoh terbaik adalah historiografi, atau ilmu penulisan sejarah, yang telah bertransformasi dari sekadar catatan peristiwa menjadi analisis kritis. Kini, di era digital, dunia pendidikan menghadapi evolusi serupa dengan kehadiran kecerdasan buatan (AI). Namun, pertanyaannya adalah: apakah kita akan menggunakan teknologi ini hanya untuk mempercepat tugas-tugas lama, atau untuk benar-benar mengubah cara kita mengajar dan belajar?

Memahami Historiografi: Evolusi dalam Penulisan Sejarah

Historiografi, yang berasal dari kata Yunani historia (sejarah) dan grafien (tulisan atau gambaran), pada dasarnya adalah ilmu yang mempelajari metode penulisan sejarah. Ini bukan sekadar mencatat tanggal dan peristiwa. Menurut Sumargono dalam bukunya Metodologi Penelitian Sejarah (2021), historiografi adalah langkah final dalam penelitian sejarah yang menuntut tidak hanya informasi, tetapi juga logika yang kuat dan bukti empiris.

Perkembangan historiografi di Indonesia dapat dibagi menjadi beberapa fase utama:

  • Historiografi Tradisional: Pada masa kerajaan Hindu-Buddha dan kesultanan Islam, penulisan sejarah dilakukan oleh para pujangga istana. Fokus utamanya adalah untuk melegitimasi kekuasaan raja dan mencatat peristiwa dari sudut pandang kerajaan, sering kali dengan unsur mitos.

  • Historiografi Kolonial: Di era pemerintahan kolonial, penulisan sejarah didominasi oleh sejarawan Belanda. Sudut pandangnya sangat Eropa-sentris (Neerlando-sentris), dengan fokus pada kehidupan dan aktivitas bangsa Eropa di Hindia Belanda, sementara peran masyarakat lokal sering kali dikesampingkan.

  • Historiografi Nasional: Setelah Proklamasi Kemerdekaan, muncul penulisan sejarah dengan perspektif Indonesia-sentris. Tujuannya adalah untuk membangun identitas nasional dan menyoroti perjuangan serta peran bangsa Indonesia dalam sejarahnya sendiri.

  • Historiografi Modern: Berkembang seiring dengan kemajuan metodologi penelitian, jenis ini sangat menekankan pada fakta dan objektivitas. Sejarah tidak lagi hanya dilihat sebagai cerita, tetapi sebagai ilmu yang dapat dianalisis secara kritis berdasarkan bukti-bukti yang valid dan dapat diterima secara logis.

Evolusi ini menunjukkan pergeseran paradigma—dari penulisan yang subjektif dan berpusat pada kekuasaan, menjadi sebuah disiplin ilmu yang kritis dan analitis.

AI di Dunia Pendidikan: Jebakan Efisiensi Semata

Kini, dunia pendidikan tengah berada di persimpangan jalan yang serupa, didorong oleh kemunculan AI. Narasi yang paling sering terdengar di berbagai konferensi dan ruang guru adalah bagaimana “AI dapat menghemat waktu guru hingga sekian jam per minggu.” Meskipun waktu adalah sumber daya yang sangat berharga bagi pendidik, narasi ini berisiko menyederhanakan potensi sejati dari teknologi itu sendiri.

Jika kita hanya menggunakan AI untuk mengerjakan tugas yang sama dengan lebih cepat—seperti membuat soal kuis atau ringkasan materi—kita sebenarnya tidak sedang berinovasi, melainkan hanya mengoptimalkan metode kerja dari masa lalu. Pengajaran yang hebat tidak pernah hanya tentang efisiensi. Ia bersifat adaptif, iteratif, dan sangat manusiawi. Seorang guru mampu “membaca” suasana kelas, menyesuaikan kecepatan mengajar, dan mengenali momen pencerahan di mata seorang siswa. Sebagian besar alat AI saat ini justru menyederhanakan kompleksitas indah ini menjadi daftar tugas sederhana.

Potensi Sejati AI: Sekutu Pedagogis untuk Dampak Maksimal

Pertanyaan yang seharusnya kita ajukan bukanlah, “Bagaimana cara mempersiapkan bahan ajar lebih cepat?” melainkan, “Apa yang bisa saya lakukan jika saya tidak perlu memulai semuanya dari nol?”

Praktik-praktik pedagogis terbaik yang terbukti mendorong kesuksesan siswa—seperti umpan balik yang personal dan tepat waktu, pembelajaran berbasis inkuiri, diferensiasi materi, dan asesmen formatif—adalah praktik yang sangat intensif dan memakan waktu. Banyak guru kesulitan menerapkannya secara konsisten, bukan karena kurangnya keinginan, tetapi karena keterbatasan kapasitas dan waktu.

Di sinilah peran AI yang sebenarnya. Ketika dirancang secara khusus untuk pendidikan, AI dapat menjadi sekutu pedagogis yang menghilangkan hambatan tersebut. Sebagai contoh, seorang guru yang selalu ingin membuat papan pilihan (choice boards) yang terdiferensiasi untuk siswa dengan kemampuan beragam kini dapat melakukannya dalam hitungan menit. AI membantu menghasilkan variasi konten yang selaras dengan standar kurikulum, sehingga guru dapat mengalihkan waktunya yang berharga untuk memberikan bimbingan personal kepada siswa yang membutuhkan. Ini adalah “efek pengganda”: AI tidak menggantikan penilaian profesional guru, tetapi memperkuat dampaknya dengan menghilangkan beban kerja mekanis.

Membebaskan Kreativitas, Bukan Mengotomatisasi Pengajaran

Para pendidik adalah sumber ide-ide inovatif, namun sering kali terkendala oleh waktu dan sumber daya. Ketika kita memandang AI sebagai mitra kreatif alih-alih sekadar alat produktivitas, sebuah perubahan besar terjadi. Guru mulai bertanya: “Bagaimana jika saya akhirnya bisa mencoba pembelajaran berbasis proyek tanpa harus menghabiskan akhir pekan untuk membuat materi?” atau “Bagaimana jika saya bisa memberikan umpan balik yang spesifik dan langsung kepada setiap siswa?”

Dengan AI, para pendidik dapat bereksperimen dengan model flipped classroom, merancang ulasan materi dalam bentuk permainan escape room, atau membuat skenario interaktif yang sebelumnya membutuhkan waktu berhari-hari untuk dikembangkan. AI menangani bagian teknis seperti pembuatan konten dan penyesuaian materi, sementara guru dapat fokus pada apa yang hanya bisa mereka lakukan: menginspirasi, terhubung dengan siswa, dan membimbing proses belajar mereka.

Pada akhirnya, katalisator sejati untuk transformasi pendidikan adalah para pendidik itu sendiri. Sama seperti historiografi yang berevolusi untuk menghasilkan pemahaman sejarah yang lebih dalam, tujuan AI dalam pendidikan bukanlah untuk mengotomatisasi pengajaran, tetapi untuk membuka ruang bagi kreativitas, eksperimen, dan hubungan manusiawi yang mendefinisikan pedagogi yang hebat.