Pendidikan

AI Merevolusi Pendidikan: Packback Bentuk Dewan Penasihat di Tengah Kekhawatiran Keterampilan Menulis dan Kesenjangan Ekuitas

Dewan Penasihat Baru Dibentuk untuk Arahkan Teknologi Pendidikan

Seiring dengan pesatnya adopsi kecerdasan buatan (AI) di sektor pendidikan, perusahaan teknologi Packback telah mengumumkan pembentukan Dewan Penasihat baru. Dewan ini bertugas mengeksplorasi bagaimana para pendidik dan institusi dapat memanfaatkan teknologi baru untuk mendukung koneksi manusia dan memicu percakapan di ruang kelas.

Dewan Penasihat ini terdiri dari para pemimpin terkemuka di dunia pendidikan, termasuk Dr. Bernard Rowan dari Chicago State University, Dr. Blake Freeman dari Hamilton County Department of Education, Carley Ries dari University of Nevada, Dr. John J. “Ski” Sygielski dari HACC, Dr. Kate Smith dari Rio Salado Community College, Marc Watkins dari University of Mississippi, Dr. Monique Reeves dari Austin Community College, dan Dr. Quintin Shepherd dari Pflugerville Independent School District.

Dewan ini dijadwalkan bertemu setiap tiga bulan untuk menawarkan panduan strategis kepada pimpinan Packback. Fokus utamanya adalah pada praktik terbaik penggunaan alat AI secara bertanggung jawab, dengan penekanan pada ekuitas, integritas akademik, dan inovasi teknologi.

Kecepatan AI dan Dampaknya pada Keterampilan Menulis

“AI mengubah ruang kelas dengan kecepatan cahaya, dan mendesak kita untuk memikirkan kembali apa yang mungkin terjadi dalam proses belajar mengajar,” jelas Kelsey Behringer, CEO di Packback. “Namun, keputusan tentang AI yang kita buat sekarang akan membentuk satu generasi pelajar, dan sangat penting bagi kita untuk mengambil langkah yang tepat.”

Behringer menambahkan bahwa dewan ini menyatukan para pemimpin dari jenjang K-12 (setara TK hingga SMA) dan pendidikan tinggi untuk lebih memahami bagaimana AI dapat menginspirasi keterlibatan yang lebih dalam dan pembelajaran yang lebih otentik.

Di tengah optimisme ini, muncul kekhawatiran signifikan mengenai dampak chatbot AI terhadap keterampilan menulis. Beberapa pendidik khawatir bahwa siswa kehilangan “pekerjaan berpikir” (thinking work) dalam menulis di tengah maraknya alat yang dapat menghasilkan “pekerjaan berkualitas B-plus setiap saat.” Para peneliti universitas berpendapat bahwa bidang pendidikan perlu melakukan lebih banyak triase sebelum sepenuhnya merangkul gagasan bahwa siswa harus menggunakan chatbot AI untuk meningkatkan keterampilan menulis dan belajar mereka.

Dilema di Ruang Kelas: Pelatih atau Pengganti?

Sarah Levine, asisten profesor di Stanford University Graduate School of Education, mengakui adanya sisi positif. Chatbot dapat bertindak sebagai pelatih atau mentor ketika manusia tidak tersedia, menawarkan umpan balik yang umum namun cukup baik dan “relatif kreatif” kepada siswa sekolah menengah yang bertukar pikiran dengan alat AI.

Namun, di sisi lain, ia mengatakan siswa terkadang “menyerahkan pekerjaan berpikir” dalam menulis kepada bot, yang membuat produk akhir dengan cepat. Dilema ini menuntut para guru dan pemimpin sekolah untuk memikirkan kembali tugas menulis agar tidak terlalu berat pada templat. “Ini adalah kesempatan bagi guru, administrator, dan terutama pengembang tes terstandar untuk memikirkan hal-hal lain yang dapat dilakukan siswa dengan bahasa selain menulis esai yang sangat otomatis,” kata Levine.

Implementasi Ad-Hoc dan Kesenjangan Akses

Meskipun distrik dan sekolah merasakan tekanan untuk mulai menerapkan AI, Levine menyarankan agar mereka mengambil waktu dan tidak terburu-buru. Sebuah laporan tahun 2024 dari Rand Corp. dan Center on Reinventing Public Education (CRPE) di Arizona State University menemukan bahwa hanya 18% guru K-12 secara nasional yang menggunakan AI di kelas.

Bree Dusseault, pimpinan di CRPE, mencatat bahwa para pendidik “mengambil pendekatan yang cukup ad-hoc terhadap AI,” dengan strategi adopsi dan pengalaman siswa yang sangat bervariasi. Kekhawatiran tentang plagiarisme sangat masuk akal, dan alat yang tersedia pun sangat beragam, mulai dari model generik seperti ChatGPT hingga produk teknologi pendidikan yang lebih spesifik.

Dusseault juga khawatir tentang tingkat akses yang lebih tinggi bagi siswa di distrik pinggiran kota yang lebih kaya. “Ada risiko bahwa siswa yang terpinggirkan, yang tidak terlayani dengan baik, tidak akan mendapatkan pelatihan atau pengalaman dengan AI untuk menguasai pembelajaran dan bersaing di dunia kerja,” katanya.

Upaya Mendorong Ekuitas dan Pelatihan Nasional

Menanggapi tantangan ini, organisasi nirlaba nasional seperti AI for Equity telah bekerja sama dengan sekolah-sekolah untuk menyusun praktik terbaik guna mendorong hasil yang lebih adil bagi semua siswa. Pekerjaan mereka mengakui bahwa mengintegrasikan AI ke dalam pendidikan adalah proses adaptif selama bertahun-tahun.

Meski demikian, kesenjangan pelatihan tetap ada. Survei nasional menunjukkan bahwa pada musim gugur 2024, sekitar setengah dari distrik sekolah melaporkan telah memberikan pelatihan AI kepada guru mereka. Namun, terdapat disparitas: 67 persen distrik dengan tingkat kemiskinan rendah melaporkan telah memberikan pelatihan, menunjukkan adanya kesenjangan sumber daya. Survei internal AI for Equity di tahun ajaran 2023-24 menemukan bahwa 38 persen staf mengatakan mereka menggunakan alat AI setiap hari/minggu, dan 48 persen responden menyatakan AI telah membantu menjadi lebih efisien.

Pandangan dari Praktisi Pendidikan di Lapangan

Di Washington Leadership Academy (WLA) PCS, kemitraan yang kuat telah menjadi kunci implementasi AI yang sukses. Ashley Jeffrey, Chief Strategy Officer, menyatakan bahwa kolaborasi dengan organisasi seperti AI for Equity dan The Learning Accelerator telah membantu mereka mengintegrasikan alat-alat baru secara bijaksana.

Jeffrey mencatat bahwa WLA mengadopsi pendekatan top-down (dari atas ke bawah) untuk implementasi AI. Pimpinan eksekutif terlebih dahulu memasukkan AI ke dalam pekerjaan mereka sebelum mendorong staf untuk menggunakannya. “Sebagian besar siswa kami adalah kulit hitam dan coklat, jadi kami memusatkan percakapan tentang etika seputar dampak AI terhadap lingkungan dan komunitas kami,” jelas Jeffrey. Siswa beroperasi dengan batasan yang jelas, termasuk rubrik yang menguraikan tugas mana yang mengizinkan penggunaan AI.

Visi Strategis: Fokus pada Masalah, Bukan Hanya Alat

Janie Scanlon, Mitra Pendiri di Elevant Strategies, memberikan pandangan strategis. Menurutnya, penting untuk memulai dengan pemahaman yang jelas tentang masalah yang ingin diselesaikan sebelum menerapkan AI, apakah itu untuk efisiensi operasional atau konten instruksional yang adaptif.

“Adalah picik dan berpotensi berbahaya untuk menempatkan tanggung jawab memahami dan memeriksa alat AI hanya pada masing-masing pendidik,” kata Scanlon. Mengikuti kemajuan teknologi yang cepat dan masalah privasi data adalah pekerjaan penuh waktu. Ia menekankan bahwa pemangku kepentingan di semua tingkatan harus berkolaborasi untuk memastikan inisiatif AI terkait dengan proses nyata dan hasil yang diinginkan serta realistis.